“Ketika membaca kompilasi komik ini, Kita merasa cerita di dalamnya penuh dengan semangat untuk mencitrakan Kotagede..”
DATA BUKU
- Judul Buku: Kotagede Dalam Komik
- Jenis Buku: Komik
- Genre: Sejarah – Kuliner – Mitos – Biografi
- Pengarang: Kickers Arsyad, dkk.
- Penerbit: Jalasutra dan Studio Diskom DKV FSR ISI Yogyakarta
- Bahasa: Indonesia
- Cetakan Pertama: Oktober 2010
- Tebal Buku: 152 halaman
- Dimensi Buku (P x L): –
- Jumlah Volume: 1
- Webiste Resmi Penerbit: –
- No. ISBN: 979-17759-7-3
- Harga:
- Gramedia: Rp.24.000 (Harga Update November 2010)
SINOPSIS
Kotagede Dalam Komik berisi 12 komik dengan kisah beragam seputar Kotagede, dari yang biasa kita dengar hingga yang aneh-aneh.
REVIEW
Beberapa waktu lalu, sebuah pesan dari teman menghampiri layar telepon selular yang Kita pegang. Isinya mengabarkan sebuah berita bahwa side event Diskomfest ISI ke 4: Kampus to Kampung, akan memamerkan karya-karya komik tentang Kota Gede, yang sebagian dibukukan dalam kompilasi berjudul Kotagede Dalam Komik (Jalasutra, Oktober 2010). Kita tentu saja, penasaran dengan isi pesan tersebut.Dari judul kompilasinya, Anda akan bisa menebak-nebak kalau buku kompilasi ini mengambil setting penceritaan di Kota Gede. Dan memang tebakan itu tidak salah. Dua belas komik yang tergabung dalam kompilasi ini seluruhnya memakai Kotagede sebagai setting tempat berlangsungnya cerita. Dilihat dari segi tema, pemakaian setting wilayah perkotaan tentu bukanlah hal baru dalam komik (yang dikarang oleh orang) Indonesia.Jika ingin menyebut contoh yang lebih populer, ada pula buku komik karya Benny dan Mice seperti seri Lagak Jakarta dan seri Lost In Bali; atau bila ingin ditelusuri sedikit ke belakang, Taman Budaya Yogyakarta bersama Urban Piktorial pernah menerbitkan Jogja In Comic pada tahun 2006 yang berisi lima komik ber-setting kota Yogyakarta dengan berbagai tema dan permasalahannya. Dalam konteks Kotagede Dalam Komik, pertanyaan yang sempat terbesit begitu Kita menerima dan membaca pesan dari teman Kita itu adalah: kompilasi komik macam apa yang dibukukan dan bagaimanakah hasilnya?Boleh dikatakan, ke dua belas cerita yang dihadirkan dalam kompilasi Kotagede Dalam Komik memang memberi kesan banyak dan beragam untuk ukuran komik setebal 148 halaman. Meskipun – sejauh yang Kita amati – bila cerita-cerita itu dikelompokkan ke dalam kategori yang lebih khusus, Anda akan menemukan bahwa keragaman cerita itu ternyata bisa dikelompokkan lagi dalam beberapa tema sentral seperti: sejarah kota gede (dalam judul “Kotagede Doeloe n Sekarang”, “Dibalik Kotagede”, “Asal Usul Kotagede”, “Liburan di Kotagede”, dan “Ing Kotagede)”, kuliner khas Kotagede (“Iki Opo…Kipo?” dan “Satay Big City Rock”), Mitos dan Cerita Rakyat (“Baong”), citra Kotagede sebagai kota pusat kerajinan perak (“Jurnal”dan “Little James in The Big City”), dan biografi singkat (“Semalam Kotagede” dan “Semangat 3 Bocah”).Ketika membaca kompilasi komik ini, Kita merasa cerita di dalamnya penuh dengan semangat untuk mencitrakan Kotagede lebih dari sekadar sebagai wilayah penghasil kerajinan perak semata. Beberapa komikus yang terlibat di dalam penciptaan kompilasi itu tampaknya memang ingin keluar dari jeratan citra semacam itu. Seperti yang ditulis dalam komik “di balik Kotagede”: “seandainya kita mau menelusuri lorong-lorong sempitnya….melewati atap-atap seng dan jogja itu…dibalik tembok-tembok itu…kita akan tahu bahwa…Kotagede lebih dari itu” (hlm 42-43). Walhasil dengan mudah kita menemukan dalam kompilasi itu citra Kotagede sebagai kota perak yang tidak begitu ditonjolkan – walaupun masih disajikan di beberapa komik.Agaknya bagi para komikus itu, yang lebih penting untuk disajikan adalah bagian tentang sejarah Kotagede yang di kompilasi ini diulangi sebanyak lima kali, meski disajikan melalui tokoh dan sudut pandang cerita yang berbeda (karena barangkali tidak banyak orang tahu tema semacam ini?).Barangkali dalam pikiran mereka: penceritaan mengenai sejarah Kotagede yang memenuhi hampir keseluruhan isi kompilasi itu perlu dilakukan, jika tidak ingin sejarah itu terlupakan seiring dengan pergantian zaman. Seperti disebut dalam judul “berlibur di Kotagede”: “jaman memang selalu berubah…entah itu akan membawa kota gede menjadi lebih baik, ataukah menjadikan kotagede seperti tempat-tempat lainnya tanpa identitas [..] generasi yang tidak menghargai warisan leluhur juga merupakan faktor yang membuat budaya Kotagede hilang” (hlm. 101). Meskipun para pembaca juga kiranya patut untuk bertanya-tanya terlebih dahulu: budaya Kotagede manakah yang dikatakan hilang itu? Dan generasi mana yang disebut tidak menghargai warisan leluhur? Sampai komik ini berakhir, pertanyaan-pertanyaan semacam itu tetap terbuka bagi para pembaca.Pembaca yang tumbuh bersama dan menganggap medium komik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari hidupnya, agaknya akan dengan mudah menikmati teknik visual yang disajikan amat kuat dan mendetail di beberapa judul komik, baik yang digunakan untuk menggambarkan suasana setting cerita, maupun untuk menyajikan ekspresi para tokoh yang terlibat di dalamnya. Dan sebaliknya, pembaca akan dengan mudah pula menemukan beberapa komik yang digambar dengan tidak terlalu mementingkan detail setting sehingga terlihat sederhana, bahkan saking sederhananya, ekspresi para tokoh yang terlibat sampai tidak terasa jiwanya.Akan tetapi di luar hal-hal teknis seperti cerita dan visualisasi gambar, kompilasi komik ini agaknya telah memenuhi fungsinya sebagai sarana untuk mengenalkan Kotagede kepada khalayak luas, terutama bagi mereka yang berasal dari luar Yogyakarta, dan juga bagi mereka yang tinggal di sana namun tidak banyak mengetahui apa itu sesungguhnya Kotagede. Selamat membaca!(Loki_Reds/Kitareview.com)