Review Film Ip Man

1930, Foshan, sebuah kota kecil yang terletak di selatan Cina yang terkenal dengan bermacam-macam sekolah bela dirinya, hiduplah seorang master Kung Fu, Yip Man bersama anak dan istrinya dengan serba berkecukupan di rumahnya yang besar. Sebagai orang kaya dan memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa, Ip Man tidak pernah tinggi hati, bahkan ia tidak segan-segan untuk membantu orang-orang yang membutuhkan pertolongannya. Itulah yang membuat banyak orang menyukai dan menghormatinya, namun banyak juga yang menyayangkan orang sehebat Yip Man tidak membuka sekolah bela diri, atau mau mengajarkan bela diri kepada masyarakat Foshan, karena ia lebih memilih hidup normal dan menghabiskan waktu bersama keluarganya.

Pada tahun 1937, invasi Jepang yang menguasai hampir keseluruhan Cina termasuk Foshan, merubah drastis hidup masyarakatnya termasuk kehidupan Yip Man dan keluarganya. Rumah dan hartanya disita untuk dijadikan markas tentara Jepang dam memaksanya untuk pindah ke sebuah rumah kecil yang kumuh dan kotor. Ditengah keputus asaannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, Yip Man pun terpaksa harus rela bekerja keras dan berkotor-kotor di sebuah tambang batu bara. Berawal dari tempat kerjanya inilah permasalahan baru mulai muncul. Diawali dengan kematian salah satu sahabatnya akibat dibunuh secara brutal oleh Miura, seorang Jendral Jepang yang fanatik terhadap ilmu bela diri, Yip Man dengan semangat patriotik yang luar biasa akan memberi pelajaran kepada para tentara Jepang untuk tidak begtu saja meremehkan dan menginjak-injak harga diri bangsa Cina.

Dari judulnya saja mungkin sebagian besar sudah mengetahui bahwa Yip Man adalah sebuah film semi-biografi dari grandmaster bela diri aliran Wing Chun, Yip Man (1893 -1972). Selain terkenal dengan kemampuan bela dirinya yang luar biasa, Yip Man juga berhasil menghasilkan murid dan penurus berbakat aliran Wing Chun, termasuk salah satunya yang paling fenomenal, Bruce Lee. Film ini sendiri tidak menceritakan keseluruhan hidup seorang Yip Man, namun hanya memfokuskan pada kehidupannya di Foshan pada tahun 30-an disaat Jepang menginvasi Cina.

Sudah tentu sebagai sebuah film semi-biografi, tidak semua kisah dalam film ini ditampilkan sesuai dengan fakta-fakta yang sebenarnya. Sebagian sudah dimodifikasi sedemikian rupa untuk menambah unsurunsur dramatisasi dan hiburan bagi penontonnya. Secara keselurahan plot cerita yang ditampilkan terbilang ringan dan cenderung klise, namun karena sang sutradara, Wilson Yip (Dragon Tiger Gate, Flash Point), mampu menggarapnya dengan baik dengan alur yang cepat dan tidak bertele-tele, film ini menjadi sangat menarik untuk ditonton, termasuk dari segi visualnya yang indah.

Dan tentu saja paling penting adalah adegan baku hantamnya yang ciamik, jurus demi jurus berhasil ditampilkan dengan sangat luwes dan apik oleh Donnie Yen, yang tampil baik dan berkhasrisma disini. Bertindak sebagai martial arts choreography, Sammo Hung berhasil menghadirkan adegan-adegan pertarungan yang sangat “wah”, baik tangan kosong maupun bersenjata yang memukau, berhasil menghibur penontonnya. Salut untuk koreografinya.

Overall, sepertinya sudah cukup lama Kita tidak melihat film bertema aksi-bela diri Mandarin yang digarap sebaik Yip Man. Walaupun harus diakui, agak sedikit lemah dari sisi cerita, namun setidaknya film ini mampu menyentil semangat patriotisme penontonnya. Dan sudah tentu, suguhan aksi bela diri yang luar biasa, jelas merupakan “magnet” terbesar bagi siapa saja yang menyukai film-film bela diri berkualitas.

(Hary/Kitareview.com)