“Kuat di adegan laga, lemah di (sebagian) cerita”
DATA BUKU
- Judul Buku: Dharmaputra Winehsuka
- Jenis Buku: Komik
- Genre: Humor
- Komikus: Alex Irzaqi
- Penerbit: M&C!
- Bahasa: Indonesia
- Cetakan Pertama: 2010
- Tebal Buku: 181
- Dimensi Buku (P x L): –
- Jumlah Volume: 1
- Webiste Resmi Penerbit: http://www.mnc-comics.com
- No. ISBN: MNC34506100589
- Harga: –
KARAKTER UTAMA
- Jayanegara
- Ra Semi
- Ra Kuti
- Halayudha
- Arya Wiraraja
SINOPSIS
Ra Kuti dan Ra Semi serta 5 orang pendekar pilihan telah diangkat sebagai Dharmaputra, pasukan elit pelindung Majapahit. Ketujuhnya bersumpah dalam kalimat suci “Satya Bela Bakti Prabu”, kesetiaan, pembelaan, serta bakti terhadap raja. Tapi rupanya Jayanegara adalah raja bodoh yang tidak paham arti kalimat tersebut serta menghinakan kesuciannya. Perlahan tapi pasti, Ra Semi mulai meragukan kalimat suci yang menjadi sumpahnya itu, smentara Ra Kuti tetap mempercayainya sebagai prinsip kebenaran sejati.
REVIEW
Tempatnya di kerajaan Majapahit, tahunnya menunjuk angka 1309 Masehi. Di tahun itu, Majapahit dipimpin oleh Prabu Jayanegara. Menurut catatan, pada masa pemerintahan prabu Jayanegara, berbagai konflik atau pemberontakan silih berganti mewarnai pemerintahannya. Beberapa sumber tulisan juga menyatakan adanya seorang tokoh bergelar Mahapatih yang diceritakan mampu menghasut prabu Jayanegara untuk menyingkirkan pesaing-pesaingnya. Patut pula dicatat bahwa selain pemberontakan Nambi yang berlangsung di tahun 1316, pemberontakan Ra Kuti yang terjadi di tahun 1319 juga tercatat dalam epos sejarah Majapahit sebagai rentetan peristiwa pembangkangan yang terjadi di masa pemerintahan Jayanegara. Bahkan tercatat, pemberontakan Kuti merupakan pemberontakan paling berbahaya di masa pemerintahan Jayanegara.Di Kerajaan Majapahit tahun 1309 itulah, setting awal komik Dharmaputra Winehsuka ditempatkan. Semi dan kuti, dua orang dari tujuh Dharmaputra di kerajaan Majapahit, menjadi tokoh-tokoh sentral dalam komik ini. Sekilas, agaknya sang Komikus memang berusaha mengadaptasi tokoh-tokoh sejarah yang ada untuk kemudian dimasukkan sebagai bahan penceritaan, sementara pemberontakan Nambi dipilih sebagai basis cerita komik ini.Lebih jauh lagi, pemilihan Majapahit sebagai lokasi kebudayaan yang kiranya amat dekat dengan ke-Indonesia-an, agaknya menjadi mewarisi semangat bercerita ala komikus terdahulu seperti Jan Mintaraga yang sempat menerbitkan Imperium Majapahit di bawah bendera Elex Media Komputindo pada tahun 1994. Meskipun bila dilihat dari beberapa aspek visualnya, seperti pada bagian adegan laga antara Ra Semi versus Ra Kuti, Alex memerlihatkan di komik ini dengan gamblang adegan perkelahian yang mirip-mirip dengan adegan laga yang biasa ditemui dalam komik silat yang berasal dari Hongkong. Bisa jadi karena faktor mirip-mirip itulah, Kita jadi berpikir, jangan-jangan sang komikus memang dipengaruhi penyajian gaya berkelahi “khas” komik-komik silat Hongkong: satu panel menggambarkan dua orang atau lebih sedang berkelahi, sementara di sebagian ruang kosong tertera teks-teks berisi nama jurus-jurus aneh, juga jangan lupakan ledakan-ledakan tenaga dalam dan keterangan mengenai ilmu yang dipakai untuk menggempur lawan. Elemen-elemen semacam itu rasanya juga bisa ditemui dalam komik Dharmaputra.Tetapi….Kita harus pula mengakui dari segi kehalusan gambar dan detail yang disajikan, komik-komik silat Hongkong masih jauh lebih baik, namun bukan berarti komik ini tidak punya nilai lebih. Telepas dari persoalan kehalusan gambar dan detail visualnya, secara umum keseluruhan adegan laga yang ada di dalam buku tersebut digarap dengan baik sehingga pembaca mampu menangkap kesan “akan adanya pertarungan”, sebagaimana yang coba disuguhkan oleh sang komikus. Juga dalam sudut pandang (komposisi) antar satu panel ke panel lainnya, sang komikus tahu kapan saat yang tepat untuk melakukan close up adegan, memberi sentuhan suasana medium shot, dan menyajikan gambar tokoh yang direkam dalam keadaan full figure jika memang dibutuhkan. Kita sendiri juga merasa sang komikus sangat menguasai konsep timing yang agaknya merupakan salah satu keterampilan penting dalam menggarap bahasa komik. Ritme adegan yang disajikan berjalan berurutan di antara ruang dan waktu yang dipisahkan lewat panel-panel adegan, membuat pembacanya tidak perlu buru-buru untuk mengambil sikap.Meskipun demikian, Kita mesti merasa tidak puas dengan cerita yang disajikan. Beberapa bagian cerita tidak digarap dengan baik hingga membuatnya tampak sebagai tempelan belaka. Sebagai contoh persaingan antara Halayudha dan Arya Wiraraja kurang begitu ditonjolkan, meski digambarkan sebagai sebuah persaingan yang “ditakdirkan”. Tidak tampak aroma persaingan di antara mereka, Arya Wiraraja malah cenderung ditampilkan sebagai seorang pecundang tua (yang tinggal menunggu malaikat maut menjemput) bila dibandingkan dengan Halayudha yang gagah, lalu di mana persaingannya?Hal sama juga terjadi di bagian adegan di mana akal bulus Halayudha yang sebenarnya disadari oleh ke enam pendekar pengawal raja termasuk Ra Kuti. Tetapi meski mereka berenam menyadari akal bulus itu, toh akhirnya mereka menjadi pihak yang paling berjasa dalam memuluskan tujuan Halayudha, hinggaa Kita bertanya-tanya: lalu untuk apa adegan ini dihadirkan? Kata “berunding” yang ikut dipakai sebagai ekspresi dalam komik ini juga menjadi hal yang sia-sia untuk diajukan. Pembantaian terus terjadi, perang masih berkecamuk; sulit dipercaya bahwa di tengah pemakaian kata “berunding” yang justru digunakan oleh mereka berenam, tidak ada satupun tanda-tanda di dalam komik ini yang menyajikan adegan “perundingan”. Tadinya Kita berharap bahwa “perundingan” atas inisiatif pasukan elit pelindung Majapahit itulah yang akan menggagalkan rencana Halayudha, tapi apa boleh buat, Kita tidak boleh dan tidak bisa menyetir imajinasi sang komikus. Dan cerita komik ini pun masih berkisar di seputar tema komik laga, dan bukan komik tentang perundingan. Dengan cara yang terkesan simplistis dan memaksa, kata “berunding” itu tampaknya sengaja ditenggelamkan jauh ke dalam angan-angan pembaca.Akhirnya setelah membaca komik ini, Kita harus pula merenungkan lebih dalam apa yang disebut kesetiaan kepada pemimpin negara. Di satu sisi, hamba-hamba raja yang setia dalam komik ini tampak diperlakukan semata sebagai robot tanpa emosi yang bergerak menurut naskah yang ditulis oleh seorang pemimpin. Di sisi lainnya, Kita lebih mengagumi sikap ksatria seorang Ra Semi yang terus meragukan kesetiannya dan memilih jalannya sendiri ketika tahu dirinya telah salah melayani seorang raja bodoh yang bahkan dengan gampang dihasut oleh pamannya sendiri. Meskipun akhirnya Ra Semi mesti membayar pembangkangannya itu dengan menyia-nyiakan ikatan persaudaraan antara dirinya dengan keenam hamba pelindung raja lainnya.Namun Kita pikir apa yang bisa dipetik dari komik ini adalah kata hati terkadang jauh lebih bisa diandalkan untuk mengambil keputusan. Ra Semi merupakan satu contoh individu yang merdeka karena menuruti kata hatinya. Kita menemukan kemerdekaan itu ketika dia berkata dalam nada menggugat: “Ada yang salah dengan Satya Bela Bakti Prabu”.(Loki_Reds/Kitareview.com)