In the Miso Soup

0
719

In the Miso Soup
In the Miso Soup bukan bacaan yang cocok bagi mereka yang bermental lemah–atau mereka yang senang membaca buku sambil mengemil makanan 🙂

DATA BUKU

    • Judul Buku: In the Miso Soup
    • Jenis Buku: Novel
    • Genre: Fiksi – Thriller
    • Penulis: Ryu Murakami
    • Penerbit: TransMedia Pustaka
    • Bahasa: Indonesia
    • Cetakan Pertama: 2007
    • Tebal Buku: 334 + vi halaman
    • Dimensi Buku (P x L): 13 cm x 19 cm
    • No. ISBN: 979-799-039-7
    • Website Resmi Penerbit: http://www.transmediapustaka.com
    • Harga: 
        • Toko Gunung Agung: Rp.34.500  (Harga Update Maret 2010)


KARAKTER UTAMA

  • Kenji (seorang pemandu wisata malam di Tokyo)
  • Frank (turis Amerika yang ramah namun mencurigakan)
  • Jun (pacar Kenji)


SINOPSIS

Frank, turis Amerika bertubuh tambun, menyewa Kenji untuk mengantarnya menjelajahi kehidupan malam Tokyo selama tiga malam berturut-turut. Tapi, tingkah laku Frank yang begitu aneh membuat Kenji berprasangka buruk: jangan-jangan kliennya itu adalah pembunuh kejam yang akhir-akhir ini meneror kota. Bagaimanapun, belum lagi malam kedua usai–dalam sebuah adegan yang mampu membuat Anda syok dan tertawa, atau justru membenci diri sendiri karena telah tertawa–Kenji menyadari betapa takutnya ia pada si turis Amerika yang dapat mengubah hidupnya ini.


REVIEW

Semua orang yang membaca novel ini akan memiliki kesan yang hampir sama, yaitu brutal, kejam, sadis, sinting, atau bahkan menjijikan. Novel ini menceritakan tentang bagaimana seorang pemandu wisata bernama Kenji menghabiskan waktu selama tiga hari bersama Frank, seorang turis Amerika yang mencurigakan–waktu tiga hari yang terasa panjang. Cerita penuh teror psikologis yang dalam endorsment-nya. Dibanding-bandingkan dengan Silence of The Lambs dan Naked ini jelas adalah sesuatu yang tidak cocok dibaca oleh mereka yang memiliki mental lemah, atau kebencian terhadap adegan-adegan sadis.

Ryu Murakami menampilkan adegan-adegan sadis dalam gaya yang cenderung polos dan apa adanya, akan membuat Anda tiba-tiba saja mengernyitkan dahi sekaligus mual dan merasa ada sesuatu yang salah dengan novel ini. Murakami tidak segan-segan mendeskripsikan bagaimana leher manusia disembelih, atau bagaimana perlakuan mengerikan terhadap alat kelamin perempuan. Pembaca yang tidak berani menghadapi deksripsi semacam ini mungkin akan lebih memilih untuk mengubur In the Miso Soup jauh di dalam rak bukunya, lalu beralih membaca novel percintaan remaja yang lebih menentramkan jiwa.

Meski bisa dibilang sebagai novel yang brutal, namun In the Miso Soup bukan sekadar cerita slasher penuh darah yang kosong dalam segi konsep. Sebagai seorang penulis dari Jepang, Murakami sangat memahami keadaan sosio-kultural Jepang kontemporer, dan dalam novel ini ia mencoba mengkritiknya dari sudut pandang yang kelam. Hal ini sangat menarik bagi mereka yang selama ini hanya mengenal budaya populer Jepang dari sisi cerahnya saja (perempuan-perempuan “kawaii” berwajah kekanakan, pria-pria metroseksual, atau anime/manga yang riang gembira), serta orang-orang yang mengira bahwa budaya populer Jepang semuanya sehat-sehat saja.

Di sini Murakami menampilkan kehidupan malam Tokyo lengkap dengan bisnis prostitusi, eksploitasi seks remaja di bawah umur, serta dekadensi moral secara luas. Kemerosotan moral dan kegilaan budaya populer Jepang zaman sekarang ini memang bukan suatu hal yang rahasia lagi, dan hal ini bercampur dengan sifat alamiah orang Jepang yang seringkali kesulitan dalam mengekspresikan perasaannya, mengakibatkan suatu krisis identitas dan perasaan kesepian. Murakami kemudian memasukkan tokoh orang asing, yaitu Frank yang berkewarganeraan Amerika Serikat. Melalui keberadaan Frank, Anda akan dapat melihat bagaimana cara orang-orang Jepang memandang orang asing khususnya orang Amerika, dan begitu juga sebaliknya. Penggambaran ini sangat menarik, sebab sebagian besar orang Amerika yang membaca novel ini juga mengakui keheranan mereka terhadap budaya kontemporer Jepang yang tampak lebih “sakit” daripada budaya Barat mereka sendiri. Novel ini adalah semacam kritik kebudayaan, moral, dan perenungan nihilistik yang dilatari suasana mencekam.

Satu-satunya kekurangan dari novel ini adalah suatu hal yang bisa dianggap sebagai kelebihannya itu sendiri. Setengah bagian awal novel ini masih tampak begitu tenang dan menyenangkan. Anda dapat membayangkan bagaimana Kenji berusaha menjadi pemandu dalam wisata seks yang dilakukan Frank. Bahkan Anda dapat tertawa geli ketika Frank mencoba berkomunikasi dengan wanita-wanita penghibur yang tidak mengerti Bahasa Inggris. Anda juga akan dapat merasakan hubungan antara Kenji dan pacarnya, Jun, dan bagaimana kekhawatiran Kenji tentang keselamatan pacarnya itu.

Setelah itu, secara mendadak muncullah bagian yang menyeramkannya, klimaks dari novel ini. Namun akhir dari klimaks ditampilkan dengan begitu mengambang, tanpa ada penyelesaian konflik yang terasa berarti. Selagi hal ini bisa dianggap sebagai kekurangan, namun juga menimbulkan perasaan kesepian dalam diri pembaca, seperti ditinggal sendirian pada sebuah diskusi yang belum selesai, semacam kegamangan yang memang menjadi tema utama dari novel ini. Mau diakui atau tidak, perasaan kesepian itu mungkin juga muncul, karena Anda telah merasa mengenal tokoh Frank, dan timbulnya suatu simpati yang aneh tanpa Anda sadari.

Novel ini adalah karya yang wajib dibaca bagi para penggemar cerita thriller dan penggemar budaya Jepang kontemporer. Efek klaustrofobik dan kebrutalan yang dimiliki novel ini pasti akan memuaskan para pecandu thriller, meskipun tidak terdapat banyak adegan aksi di dalamnya. Namun jangan bilang bahwa tidak ada peringatan sebelumnya, In the Miso Soup bukan bacaan yang cocok bagi mereka yang bermental lemah–atau mereka yang senang membaca buku sambil mengemil makanan 🙂

(Rivai/Kitareview.com)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here