DATA BUKU
- Judul Buku: Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)
- Jenis Buku: Kumpulan cerpen
- Genre: Fiksi
- Penulis: Djenar Maesa Ayu
- Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan: VI, Maret 2007
- Bahasa: Indonesia
- Tebal Buku: 122 Halaman
- Dimensi Buku (Px L): 14 x 21 cm
- Website Resmi l Penerbit: http://www.gramedia.com
- No ISBN : 978-979-22-0670-8
- Harga buku:
-
- Gramedia: Rp.35.000
- (Harga Update Juli 2011)
-
SINOPSIS BUKU JANGAN MAIN-MAIN (DENGAN KELAMINMU)
Saya heran, selama lima tahun kami menjalin huungan, tidak sekali pun terlintas di kepala saya tentang pernikahan. Tapi jika dikatakan hubungan kami ini hanya main-maian, apalagi hanya sebatas hasrat seksual, dengan tegas saya akan menolak. Saya sangat tahu aturan main-main, mulai main mata hingga main kelamin. Bayangkan ! berapa banyak main-main yang bisa saya lakukan dalam lima tahun? Ini tidak main-main!
REVIEW BUKU JANGAN MAIN-MAIN (DENGAN KELAMINMU)
Pasca gelombang reformasi yang identik dengan informasi keterbukaan, transparansi, tak heran apa pun itu, segala “tetek bengek” permasalahan yang melanda kehidupan masyarakat akan dibuka, dengan sendirinya atau pun terpaksa. Khususnya di Indonesia ini. Nyaris tak ada ditutup-tutupi.
Di dunia ”keperempuanan” hal ini menjadi semacam bentuk perjuangan untuk bebas dari kesenjangan gender yang sudah lama membungkam suara-suara nurani mereka. Salah satunya adalah Djenar Maesa Ayu. Penulis yang mengambil tema-tema kontroversial, mengambil ranah “seksual” yang ingin membuka pandangan sebagian masyarakat bahwa seks itu tabu untuk dibicarakan.
Dalam kumpulan cerpen “Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)”, Djenar menyajikan sebuah dunia yang dipenuhi karakter manusia yang terluka, termarginalkan oleh norma masyarakat, dan pengkhianatan. Aroma yang menyajikan bahwa hidup itu indah, seperti siklus manusia bahagia—lahir, remaja, dewasa, bekerja, menikah, bahagia punya anak kemudian meninggal segera ditampik jauh-jauh dalam kumpulan cerpen ini. Dari penamaan judulnya saja, sudah berbau vulgar, seks, tubuh telanjang, hal ini teringat dalam esainya Damhuri Muhammad yang berjudul “Tarekat Ketubuhan” versi Djenar Maesa Ayu yang menjelaskan duduk permasalahan tema utama yang ditulis Djenar dalam cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)” dan “Menyusu Ayah” sebagai gaya baru Djenar dalam mengekspresikan “jalan” bagi ketubuhan. Maksudnya tema-tema tersebut adalah suatu bentuk perlawanan Djenar terhadap upaya hegemoni pengekangan seksualitas wanita yang selama ini dianggap tabu untuk dibicarakan di masyarakat umum.
Oleh sebab itu Damhuri, menganggap proses tarekat bukan hanya dikenal di kalangan sufi-sufi saja, namun tarekat yang berarti jalan adalah sebuah proses perjalanan yang ditempuh seseorang untuk menuju sesuatu, dalam konteks ini, tarekat ketubuhan yang membuka selebar-lebarnya pengungkapan tubuh telanjang ini—bahkan vulgar merupakan upaya jalan ketubuhan dalam perlawanan terhadap ketidakadilan terhadap nasib tubuh wanita itu sendiri. Meminjam istilah Seno GumiraAjidarma, yang mengungkapkan cerita dengan sarkasme, yaitu menvisualisasikan hal yang membuat bergidik, tabu, menakutkan, kesakitan dengan hal yang biasa seolah hal itu sudah biasa terjadi. Hal itu dicoba digambarkan oleh Djenar Maesa Ayu dengan “nyentrik”—berani mendobrak pintu-pintu terlarang di ranah seksual dengan vulgar, apa adanya.
Tokoh-tokoh dalam cerpen Djenar kali ini, nyaris semuanya “antipenyelamat”, mereka tidak butuh pahlawan kesiangan yang menolong dikala mereka menangis, jatuh, dikucilkan, dan dikhianati, namun mereka berusaha tegar, berdiri sendiri dari lingkungan yang brutal yang sudah menvonis mereka “penyakit masyarakat”. Namun jangan mengira mereka mengeluh, mengharap iba dan simpati kita—sebagai pembaca, karena mereka berusaha melawan dan menciptakan ruang kebahagiannya sendiri. Tentu saja dengan cara dan pemikiran tokoh-tokoh dalam cerpen tersebut.
Hal menarik terungkap pada cerita “Saya di Mata Sebagian Orang” yaitu begitu kuatnya karakter yang ditulis Djenar untuk mewujudkan tokoh utama “Saya” berani mencerca habis-habisan pandangan umum masyarakat yang berhak menilai bahwa mereka adalah satu-satunya kebenaran, hanya karena pandangan tentang hak memilih cara hidup tokoh utama yang menyimpang dari pandangan masyarakat. Kebebasan dalam memilih cara hidup inilah yang diperjuangkan tokoh “Saya” itu.
Meskipun pada kalimat penutup, dimungkinkan pada pandangan masyarakat yang menilai merasa paling benar sendiri, tokoh “saya” tetap membenarkan cara hidupnya, ia berusaha tegar, mensyukuri apa yang terjadi. Seperti pada cakapan,”Karena ketika saya positif mengidap HIV ternyata masih ada yang setia menyiapkan air hangat untuk bilas badan. Mengirim makan siang. Menemani makan malam. Mendongeng tentang sebuah peristiwa lucu di suatu kafe. Bercerita tentang film yang baru saja diputar, ketika sebagian orang sibuk bergunjing atas akibat yang saya terima karena saya munafik. Pembual. Sok gagah. Sakit jiwa. Murahan!”
Dari kutipan tersebut, terlihat tokoh “Saya” begitu menikmati hidup ini dengan tegar, melawan rasa takut meski dipandang menyimpang oleh pandangan masyarakat. Sekaligus menyindir secara sarkastis kepada pandangan masyarakat berpikir picik, tidak “care” terhadap nasib orang-orang yang mengalami seperti tokoh “Saya”—ODHA yang diasingkan dari pergaulan masyarakat. Tokoh “Saya” mensyukuri atas nama solidaritas pertemanan yang susah payah dia bangun yang pada akhirnya ia menemukan hasil jerih payah pertemanan yang dimaksud. Atas nama simpati dan empati, bukan pengucilan atau diskriminasi oleh masyarakat karena dianggap menyimpang—meskipun tokoh utama nyaris dari awal sampai terakhir tidak merengek-rengek iba kasihan apalagi simpati. Rasa empati malah terbit dari teman-temannya yang menerima tokoh “Saya” apa adanya.
Hal itulah yang ingin ditunjukkan oleh Djenar bahwa hidup itu berwarna dengan hadirnya orang-orang yang biasa dikatakan oleh masyarakat umum dengan sebutan “menyimpang”. Dan mengritisi pandangan bahwa pandangan umum yang paling benar. Hal itulah kenapa kita temukan karakter-karakter tokoh Djenar berparadoks, kesakitan, dan mengalami kekalahan. Karena itulah warna hidup yang senyatanya ada di sisi lain lingkungan kita ini, tanpa kita sadari, bahkan lebih muram dan gelap–memilukan. Djenar menawarkan sisi lain kehidupan itu, yang biasa dipandang sebelah mata oleh sebagian orang yang sudah termakan hedonis, egois dan materialistis yang dari luarnya bermoral namun dalam hatinya tak lebih segumpal daging busuk.
Dari kontek bahasa yang dipakai Djenar, penuturan yang kita temukan di beberapa cerpen seperti “Stacco” dan “Saya di Mata Sebagain Orang” yang cenderung singkat, padat namun diulang-ulang, namun menciptakan sudut pandang penceritanya yang berbeda.
Hal itu membuka kebaruan dalam teknik bercerita secara lugas tanpa basa-basi di dalam cerpen. Hal itu mungkin saja Djenar terinspirasi dari Sutardji Calzoum Bachri, yang memasukkan pengulangan-pengulangan dalam sajaknya, semisal: sajak tragedi Winka. Dari bentuknya yang unik, dan diulang-ulang seperti merapal mantra, sajak Sutardji juga berkesan jika dibaca secara berulang seperti membentuk irama dan makna. Begitu juga cerpen-serpen Djenar tersebut, memberi kesan penegasan kembali apa yang mau disampaikan tokoh-tokoh cerpennya.
Pengolahan eksplorasi antara metafora, simbol dan ekspresif betul-betul tersajikan dalam menggambarkan setting maupun karakter tokohnya. Hal itulah yang menimbulkan sense dan kesan yang mudah dicerna dan mudah terserap bagi yang membacanya. Djenar juga menggunakan campur aduk antara bahasa formal konvensional pada beberapa cerpennya dan bahasa populer yang ringan di beberapa cerpennya. Hal yang berbeda dari cerpen-cerpen sebelumnya dari Djenar adalah teknik pemformatan font huruf yang pada buku ini kurang nyaman untuk ukuran cerpen. Hal itu untuk bahan pertimbangan pihak editorial dan lay out buku ini selanjutnya. Format timenewsroman lebih menarik dan nyaman untuk dibaca baik cerpen maupun novel.
Namun terlepas hal teknis, dari segi kepenulisan Djenar dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu). memberikan warna kualitas original tersendiri dari penulis wanita Indonesia lainnya. Hal itulah yang membuat Djenar tidak hanya berani memukau dalam tema-tema kontroversial seperti “Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu)” dan “Menyusu Ayah” namun juga berani menghadirkan semangat kebaruan dalam khazanah sastra Indonesia kini.
(ipung_sa/Kitareview.com)