“..yang membuat novel ini sangat direkomendasikan, yaitu ide-ide dan nilai moral di dalamnya..”
DATA BUKU
- Judul Buku: Meredam Dendam
- Jenis Buku: Novel
- Genre: Sosial – Budaya
- Penulis: Gerson Poyk
- Penerbit: Kakilangit Kencana (Prenada Media Group)
- Cetakan Pertama: Juni 2009
- Bahasa: Indonesia
- Tebal Buku: iv + 296 hlm
- Dimensi Buku (P x L): 12,5 x 20 cm
- Website Resmi Penerbit: –
- No. ISBN: 978-602-8556-05-7
- Harga :
- Toko Gunung Agung: Rp.45.000 (Harga Update Maret 2010)
KARAKTER UTAMA
- Da’i
- Vina
- Kim
SINOPSIS
Da’i, seorang tamatan sekolah Teologia yang gagal menjadi Pendeta, menjalani hidupnya dengan membawa setumpuk dendam. Dimulai saat ia harus menghadapi kematian istrinya yang tengah mengandung. Dengan perasaan yang sangat terpukul, ia berhenti dari pekerjaannya sebagai penjaga mercusuar dan menghabiskan waktunya dengan memancing di tengah laut. Kehidupan mempertemukannya dengan wanita keturunan Tionghoa bernama Kim yang setelah dinikahi, baru diketahui ternyata seorang penyelundup. Di satu sisi, ia kagum dengan pemikiran yang dimiliki Kim, namun di sisi lain fitrahnya sebagai manusia selalu mengusik perjalanan hidupnya sebagai penyelundup bersama sang istri.
Selang beberapa waktu, ia bertemu dengan seorang wanita keturunan Sunda yang ternyata adalah keponakan dari laki-laki yang pernah memperkosa saudaranya. Ia pun mendekati wanita bernama Vina itu dengan motif membalas dendam.
Dendam. Ke mana dendam akan membawanya …?
Selang beberapa waktu, ia bertemu dengan seorang wanita keturunan Sunda yang ternyata adalah keponakan dari laki-laki yang pernah memperkosa saudaranya. Ia pun mendekati wanita bernama Vina itu dengan motif membalas dendam.
Dendam. Ke mana dendam akan membawanya …?
REVIEW
Hal apa yang membuat suatu karya sastra sangat dilirik dan laku dijual? Permainan judul, ide cerita yang mengikuti selera masyarakat, dan penampilan cover yang mencolok. Rupanya poin-poin ini tidak tercermin pada novel Gerson Poyk ini. Dari segi penampilan maupun isi, sangat berbeda dengan karya-karya sastra lainnya. Begitu membuka halaman judul dan data buku, Anda akan langsung disuguhkan dengan cerita tokoh utama, tanpa daftar isi dan penulisan bab atau subjudul. Mengapa? Tak lain karena novel ini tidak terdiri dari beberapa bab seperti novel lainnya, melainkan satu bagian, dari awal sampai akhir.
Saat membaca kisahnya, Anda harus benar-benar teliti, karena sang penulis menggunakan alur cerita yang maju-mundur. Pada bagian awal sampai pertengahan buku, ceritanya lebih fokus pada perjalanan hidup Da’i yang berkelut dengan dendam, ajaran agama (Kristus), dan kenyataan sosial. Lalu bagian selanjutnya sampai dengan akhir, cerita mulai fokus pada pencerahan hidup dan pemikiran tentang budaya dan seni.
Sebenarnya jalan ceritanya mudah diikuti dan dipahami, namun sepertinya pada beberapa monolog dan dialog dari tokoh-tokohnya terkesan sangat subjektif dan agak kontroversial. Seperti saat tokoh Da’i berpikir tentang esensi dan kurang pentingnya legalitas dari sebuah pernikahan. Lalu di bagian saat tokoh tersebut berdialog tentang ide membangun kemandirian anak bangsa. Pemikiran-pemikiran yang penulis tuangkan dalam karya ini seperti berusaha memotret realita bangsa yang akan membuat Anda tertantang untuk berpikir tentang kebenaran sekaligus kesalahannya.
Cerita ber-setting di era ’90-an sampai 2000-an di tempat yang berpindah-pindah yaitu Pulau Rote, Jakarta, dan Bali. Kisahnya dituliskan seperti mengalir begitu saja dari imajinasi sang penulis, tidak bertele-tele seperti karya sastra kebanyakan yang sangat mengagungkan detail dari setting tempat dan alur yang lambat. Dari segi cover yang berlatar belakang hitam dan merah dengan siluet gambar seorang pria yang sedang berteriak, sangat mewakili keadaan batin dari sang tokoh utama dan judul novel. Dia yang menyimpan dendam dari lautan kehidupan, mencoba untuk meredam dendam itu melalui pergulatan batin yang hebat.
Akhirnya, yang membuat novel ini sangat direkomendasikan yaitu ide-ide dan nilai moral di dalamnya, yang jika dipikirkan secara mendalam, akan membuka wawasan dan pandangan Anda mengenai hubungan antara hidup, agama, dan seni sastra.
Saat membaca kisahnya, Anda harus benar-benar teliti, karena sang penulis menggunakan alur cerita yang maju-mundur. Pada bagian awal sampai pertengahan buku, ceritanya lebih fokus pada perjalanan hidup Da’i yang berkelut dengan dendam, ajaran agama (Kristus), dan kenyataan sosial. Lalu bagian selanjutnya sampai dengan akhir, cerita mulai fokus pada pencerahan hidup dan pemikiran tentang budaya dan seni.
Sebenarnya jalan ceritanya mudah diikuti dan dipahami, namun sepertinya pada beberapa monolog dan dialog dari tokoh-tokohnya terkesan sangat subjektif dan agak kontroversial. Seperti saat tokoh Da’i berpikir tentang esensi dan kurang pentingnya legalitas dari sebuah pernikahan. Lalu di bagian saat tokoh tersebut berdialog tentang ide membangun kemandirian anak bangsa. Pemikiran-pemikiran yang penulis tuangkan dalam karya ini seperti berusaha memotret realita bangsa yang akan membuat Anda tertantang untuk berpikir tentang kebenaran sekaligus kesalahannya.
Cerita ber-setting di era ’90-an sampai 2000-an di tempat yang berpindah-pindah yaitu Pulau Rote, Jakarta, dan Bali. Kisahnya dituliskan seperti mengalir begitu saja dari imajinasi sang penulis, tidak bertele-tele seperti karya sastra kebanyakan yang sangat mengagungkan detail dari setting tempat dan alur yang lambat. Dari segi cover yang berlatar belakang hitam dan merah dengan siluet gambar seorang pria yang sedang berteriak, sangat mewakili keadaan batin dari sang tokoh utama dan judul novel. Dia yang menyimpan dendam dari lautan kehidupan, mencoba untuk meredam dendam itu melalui pergulatan batin yang hebat.
Akhirnya, yang membuat novel ini sangat direkomendasikan yaitu ide-ide dan nilai moral di dalamnya, yang jika dipikirkan secara mendalam, akan membuka wawasan dan pandangan Anda mengenai hubungan antara hidup, agama, dan seni sastra.
(AnnaTomi/Kitareview.com)
keren