DATA BUKU
- Judul Buku: Gadis Pantai
- Jenis Buku: Roman Novel
- Genre: Fiksi
- Penulis: Pramoedya Ananta Toer
- Penerbit: Lentera Dipantera
- Cetakan: 6 Februari 2010
- Bahasa: Indonesia
- Tebal Buku: 272 Halaman
- Dimensi Buku (P x L): 13 x 20 cm
- Website Resmi Penerbit: –
- No ISBN : 979-97312-8-5
- Harga Buku:
- Gramedia: Rp.40.000 (Harga Update Mei 2011)
KARAKTER UTAMA
- Gadis Pantai
- Bendoro
- Mardinah
SINOPSIS BUKU GADIS PANTAI
Gadis Pantai lahir dan tumbuh di sebuah kampong nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Seorang gadis yang manis. Cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar santri setempat, seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Dia diambil menjadi gundik pembesar tersebut dan menjadi Mas Nganten: perempuan yang melayani “kebutuhan “ seks pembesar sampai kemudian pembesar memutuskan untuk menikah dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya.
Mulanya, perkawinan itu member prestise baginya di kampung halamannya karena dia dipandang telah dinaikkan derajatnya, menajadi Bendoro Putri. Tapi itu tidak berlangsung lama. Ia terperosok kembali ke tanah. Orang Jawa yang telah memilikinya, tega membuangnya setelah dia melahirkan seorang bayi permepuan.
Roman ini menusuk feodalisme Jawa yang tak memiliki adab dan jiwa kemanusiaan, tepat langsung di jantungnya yang paling dalam.
REVIEW BUKU GADIS PANTAI
Kata Pramoedya, Gadis Pantai adalah roman yang mengsiahkan tentang perikehidupan seorang gadis remaja yang besar di kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten Rembang. Keelokannya mengundah rasa minat dari seorang Jawa yang bekerja pada administrasi Belanda, biasa dipanggil Bendoro. Ia diambil istri oleh Bendoro dan dikenal dengan sebutan Bendoro Putri. Konflik masalah berawal dari situ.
Kehidupan Gadis Pantai berubah total, seperti ungkapan Jawa, “Kere munggah Bale”. Segala keperluan sudah ada, tinggal menjentikkan jari saja, asalkan ia patuh terhadap perintah Bendoro. Pertama-tama, Gadis Pantai menikmati hal itu, namun lama kelamaan rasa rindu orang rumah- Mak, Bapak- sungguh menggelora. Di rumah gedongan miliki Bendoro penuh kehati-hatian, salah sedikit saja kena hukuman. Seperti ungkapan Gadis pantai pada Bapaknya,” Mengerikan bapak, mengerikan kehidupan priyayi ini..Ah tidak, aku tak suka pada priyayi. Gedung-gedungnya yang berdinding batu itu neraka. Neraka. Neraka tanpa perasaan.
Bisa diambil kesimpulan bagaimana kondisi kehidupan Gadis Pantai yang mengalami dengan mata kepala sendiri bagaimana kehidupan para Priyayi, memang harta, benda kekuasaan telah mereka miliki, namun kasih sayang, saling menghormati tanpa pandang status tak ada sama sekali pada mereka, priyayi itu.
Pramoedya yang secara jelas dari roman-roman sebelumnya, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan lainnya, menolak tradisi feodalistik yang masih dianut sebagian pembesar Jawa pada waktu itu. Namun yang memiriskan lagi ke mana hati nurani dan moral para pembesar yang telah melakukan kesewenang-wenangan terhadap hak seorang wanita yang telah dinikahinya. Pram tidak hanya mengritik tradisi feodalistik yang kejam, namun penindasan atas nama gender yang masih dilakukan para kaum Patriarki di Jawa pada waktu itu.
Roman Gadis Pantai ini menarik untuk dibaca, apalagi karena buku ini telah mengalami pembakaran oleh tangan penguasa waktu itu. Untung bab awal dari roman ini terselamatkan, dua bab setelahnya sudah hangus menajdi debu. Seharusnya roman ini terdiri dari trilogi namun hanya satu buku ini yang bisa dan dapat dinikmati oleh pembaca hingga sekarang. Namun karena keganasan vandalism Angkatan Darat yang berujung penguasa waktu itu, membakar habis dua bab setelah buku pertama Gadis Pantai ini.
Namun agaknya penguasa tidak mampu menghalangi pemikiran Pramoedya Ananta Toer. Melalui pihak Universitas Nasional Canberra (ANU), melewati seorang mahasiswi Savitri P. Scherer, yang mengambil tesis penelitian seputar proses pengarangan Pramoedya Ananta Toer, mengirimkan naskah yang nyaris tak terawat karena terombang-ambing dari satu tangan ke tangan langit, hingga akhirnya kembali ke tangan pengarangnya sendiri.
Di sini membuktikan bahwa sekuat atau sekuasa apapun penguasa, tak bisa menghalangi proses kreatif atau kesenimanan seseorang, karena ide tak bisa dibajak, apalagi dibunuh. Ide akan selalu tetap hidup, selama akal ini masih ada. Begitu juga proses kreatif, semakin ditekan, dipinggirkan, disingkirkan, hal itu malah membuat seniman lebih dewasa dan serius dalam berproses kreatif. Sehingga tak jarang dari mereka para pengarang, seniman yang besar karena kungkungan teralis besi, tekanan batin dari negaranya sendiri.
Lihat saja nobelis sastra Gao Xingjian, Gunter Grass, Kenzaburo Oe, yang buku-bukunya tadinya dilarang negaranya menjadi memiliki nilai setelah ide –ide dalam bukunya memberi pencerahan terhadap perubahan sosial di masyarakatnya. Bahkan pemerintah setempat tak berkutik dibuatnya, karena karyalah yang berbicara, rakyat sebagai pembaca adalah hakimnya.
Hal itulah yang tercermin dari diri Pramoedya, yang berkali-kali masuk nominasi nobel sastra namun beliau sendiri tidak bangga atas hal itu. Yang memilukan hati Pram, kenapa bangsa lain, jauh-jauh ingin memberi penghargaan sekaliber “nobel”, namun bangsanya sendiri, bangsa yang menjadi inspirasi dalam karya-karyanya, telah membuangnya. Bahkan pemikian-pemikiran demi kemajuan bangsanya malah diberangus, selanjutnya buku-bukunya dibakar tanpa ampun.
Melalui Roman Gadis Pantai ini, Pram memilih bahasa, kosakata yang jernih (clarity) dan bersih (clear) membuat pembacanya dimudahkan dalam mencerna kalimat-kalimatnya, meskipun masih konvensional. Kritik-kritik terhadap kaum Feodalistik, dan kaum Patriarki digambarkan secara gamblang, tanpa tedeng aling-aling, di situ dijelaskan bahwa kaum priyayi yang memiliki keimanan atas nama agama masih terbungkus dalam kemunafikannya sendiri.
Ironisnya kaum yang mengerti apa itu keimanan, apa itu agama, malah menyebarkan bau kebencian di antara orang-orang hanya karena mereka tak sederajat.Sebaliknya rakyat yang sehari-hari hanya bergelut dengan amisnya ikan di laut, kurang mengenal apa itu agama, namun mereka berpikir, bertindak menggunakan hati nurani dalam menghadapi kehidupan di tengah penjajahan Belanda yang sadis dan penjajahan kaun Feodal yang sinis.
Meskipun roman ini unfinished, namun bukan berarti roman ini “miskin” esensi dan sastranya. Melainkan dari awal cerita, Pram sudah mulai memasukkan unsur sastrawinya tak juga ketinggalan esensinya, bahwa Pram ingin menunjukkan “dosa besar” kaum feodalistik ini yang tidak hanya membiarkan “penjajahan” dari pihak asing saja, namun juga turut serta mengecap bagaimana memiliki kekuasaan untuk menguasai sesama pribuminya sendiri dan menyengsarakannya.
Sungguh mengerikan di balik ekslusifitas kehidupan, kehidupan glamor, hedonis kaum feodal sama artinya “memakan bangkai saudaranya sendiri”. Rasa menjijikkan itu digambarkan Pramoedya Ananta Toer dengan sempurna untuk membela bau harum bunga-bunga pribumi ini. Dan buku ini adalah salah satu rekomendasi referensi buku pilihan, yang sayang kalau tidak menjadi koleksi Anda. Selamat membaca!
(ipung_sa/Kitareview.com)
Novel itu merupakan pencerminan cerdas seorang Pramoedya (y)
Kali pertama mengetahui tentang novel ini saat diulas oleh dosen di kampus pada mata kuliah Pengkajian Sastra. Kesan pertama saat mendengarkan, bulu kuduk jadi merinding, tersentuh sekali dengan kisah nyata yang menceritakan tentang seorang Gadis Pantai, yang tidak lain adalah nenek Pramoedya Ananta Toer sendiri. Sarat dengan kritik akan paham feodalisme. Namun sayang, 2 novel berikutnya yg merupakan novel trilogi ini dihanguskan saat masa rezim Soeharto.