DATA BUKU
- Judul Buku: Jejak Langkah
- Jenis Buku: Novel
- Genre: Fiksi – Roman
- Penulis: Pramoedya Ananta Toer
- Penerbit: Lentera Dipantera
- Cetakan: 7 Januari 2009
- Bahasa: Indonesia
- Tebal Buku: 724 Halaman
- Dimensi Buku (P x L): 13 x 20 cm
- Website Resmi Penerbit: –
- No ISBN: 979-97312-5-9
- Harga Buku:
-
- Gramedia: Rp.95.000 (Harga Update Mei 2011)
-
DATA LAINNYA
- Tetralogi Buru:
-
- Bumi Manusia
- Anak Semua Bangsa
- Jejak Langkah
- Rumah Kaca
-
KARAKTER UTAMA
- Minke
- Partotenojo alias Partokleooo
- Bunda Minke
- Ang San Mei
- Gubernur Jenderal Van Heutsz
- Hanz
- Hadji Moeloek
- Tuan Pangemanann
- Piah
SINOPSIS BUKU NOVEL JEJAK LANGKAH
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku, pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Tetralogi buru yang ketiga ini, Jejak Langkah bisa kita artikan sebagai pembelahaan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman ketiga ini, Jejak Langkah, adalah fase pengorganisasian perlawanan.
Minke memobilisari segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad lamanya umurnya. Namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja ‘Medan Priaji’. Dengan Koran ini, Minke berseru-seru kepada rakyat Pribumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru: “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.
REVIEW BUKU NOVEL JEJAK LANGKAH
Pramoedya kali ini dalam buku lanjutannya berjudul Jejak Langkah, merupakan fase pengorganisasian perlawanan. Yaitu dengan cara Minke mendirikan organisasi yang waktu itu adalah terbitan surat kabar “Medan Prijaji”. Surat kabar itu didirikan bukan untuk hiburan rakyat saja, melainkan alat perlawanannya sebagai pribumi terhadap kesewenang-wenangan Eropa.
Karakter Minke disini digambarkan Pram seperti ‘representasi’ dari tokoh pendiri Pers Nasional RM Tirto Adhi Soerjo yang melawan ketidakadilan tanpa harus menggunakan kekerasan. Karena Intelektual harus dilawan dengan intelektual. Hal itu secara tak langsung mendudukkan peran wartawan, pers dalam mendirikan republik ini melalui Medan Prijaji, yang 1904 juga mendirikan Sjarikat Dagang Islam, cikal bakal organisasi modern pertama di Indonesia. Melalui Medan Prijaji, tokoh Minke terus mengritisi pemerintahan Hindia Belanda yang saat itu korup merajalela, rakyat tidak dipikirkan nasibnya. Akibatnya banyak gelandangan, lapar dan tak ada kerja. Minke berseru-seru terhadap pribumi: “didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.
Apa yang ditulis Pramoedya Ananta Toer menjadi relevan dan seperti ramalannya bahwa rakyat yang didik organisasi akan melawan segala bentuk ketidakadilan penguasa. Sebut saja pemerintahan Orde Baru yang suka sekali memberangus kemerdekaan berpikir secara tulisan, dan lisan, pikiran yang akhirnya tumbang di tangan mahasiswa dan rakyatnya sendiri pada 21 Mei 1998.
Di era reformasi, di tengah kemelut guncangan politik di timur tengah, bagaimana Mesir atas nama Presiden Husni Mubarok harus mundur oleh rakyatnya sendiri, dan diikuti bangsa-bangsa lainnya. Hal itu tak mengherankan, rakyat selalu menang di akhir, dengan organisasi, kesepakatan bersama menumbuhkan rasa kebersamaan dan keadilan yang sama, segala bentuk ketidakadilan dan kesenang-wenangan penguasa akan tunduk di telapak kaki rakyatnya yang dilatih organisasi. Semua itu juga karena jasa media pers yang menginformasikan ketidakadilan dan kesewenang-wenangan penguasa.
Begitulah. Relevannya pemikiran Pramoedya, bisa menjadi ide pemantik bagi generasi penerusnya. Karya-karyanya yang terekam abadi, tak hanya sanggup menghibur namun juga detail memompa semangat pembacanya untuk berubah, berubah dari kemandekan, maju dan mengritis sesuatu yang tidak benar. Seperti Pram mengatakan,” Sudah lama aku dengar dan aku baca ada seuatu negeri di mana semua orang sama di depan hukum. Tidak seperti di Hindia ini. Kata dongeng itu juga: “Negeri itu memashurkan, menjunjung dan memuliakann kebebasan, persamaan dan persaudaraan. Aku ingin melihat negeri dongengan itu dalam kenyataan.”
Buku ini syarat akan pencerahan agar keadilan di depan hukum itu memiliki hak yang sama, tak peduli itu anak pejabat, anak presiden, anak petani, atau anak buruh bangunan, hendaknya semua sama di depan hukum yang praktiknya tidak bisa diperjualbelikan. Karena selama ini teori Undang-undangnya semua sama di depan hukum namun, praktiknya hukum masih diperjualbelikan. Buku ini juga bisa dibaca khalayak umum yang haus rasa keadilan dan sastra, tapi perlu didedikasikan kepada para penegak hukum negeri ini untuk sekali-kali membacanya.
(ipung_sa/Kitareview.com)
Saya sudah lama cari rumah kaca sama anak semua bangsa..bagaiimana/dimana saya bisa dapat..