DATA BUKU
- Judul Buku: Rumah Kaca
- Jenis Buku: Novel
- Genre: Fiksi – Roman
- Penulis: Pramoedya Ananta Toer
- Penerbit: Lentera Dipantera
- Cetakan: 8 Juni 2010
- Bahasa: Indonesia
- Tebal Buku: 646 Halaman
- Dimensi Buku (P x L): 13 x 20 cm
- Website Resmi Penerbit: –
- No ISBN: 979-9731-26-7
- Harga Buku:
- Gramedia: Rp.95.000 (Harga Update Mei 2011)
DATA LAINNYA
- Tetralogi Buru:
- Bumi Manusia
- Anak Semua Bangsa
- Jejak Langkah
- Rumah Kaca
KARAKTER UTAMA
- Minke
- Partotenojo alias Partokleooo
- Bunda Minke
- Ang San Mei
- Gubernur Jenderal Van Heutsz
- Hanz
- Hadji Moeloek
- Tuan Pangemanann
- Piah
SINOPSIS BUKU NOVEL RUMAH KACA
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku, pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu, Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan per-rumahkacaa-an.
Novel besar berbahasa Indonesia yang menguras energi pengarangnya untuk menamilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial. Sebuah karya pasakolonial paling bergengsi.
REVIEW BUKU NOVEL RUMAH KACA
“Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa. Di sana setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapatkan tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapat tempat dan berebutan untuk menguasainya.” Kata-kata Pramoedaya Ananta Toer lewat Minke itulah yang merupakan peristiwa singkat namun jika diuraikan menjadi setebal roman Rumah Kaca ini.
Terlihat sekali, Pram mengritik habis-habisan pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang tidak becus mengurusi pemerintahan karena terjebak oleh pejabat korup yang melarikan diri ke luar negeri dan berfoya-foya menggunakan uang rakyat. Cara mengritik Pram terhadap pemerintahan Hindia yang menyeluruh, seperti tukang cukur yang menggunduli rambut pelanggannya, tak bersisa, halus mulus, dan meninggalkan kesan mendalam.
Dalam Rumah Kaca, Pramoedya ingin menghadirkan cara penyajian penceritaan yang tidak seperti biasanya ditemukan di tiga buku sebelumnya, Bumi Manusia sampai Jejak Langkah. Roman Rumah Kaca memperlihatkan Tuan Pangemanann—pejabat Gubernur Jenderal Hindia sebagai komandan yang memimpin pemboikotan usaha jurnalistik Minke di Medan Prijaji melakukan tugasnya, dengan cara mengumpulkan arsip dokumentasi apa saja yang dilakukan Minke. Tuan Pangemanann didorong oleh tugasnya sebagai seorang Pangemanann pejabat gubernur Jenderal, yang menyelidiki kasus Minke, mencari kesalahan Minke.
Pramoedya sungguh menarik meramu cerita dengan gaya penceritaan dari sudut pandang Tuan Pangemanann, semua diceritakan apa adanya menurut bukti yang ada di arsip tersebut. Detail dan rinci salah satu kekhasan penulis dalam menulis Rumah Kaca ini, intrik jahat kolonial hindia diberitakan dengan penuh ketegangan, alur cinta yang anggun, abadi meskipun dari bab Bumi Manusia hingga Rumah Kaca, Anda sebagai pembaca, dihadapkan oleh “kekalahan petualangan cinta” seorang priyayi setampan Minke yang berakhir tragis namun pengalaman manis meninggalkan kenangan ketulusan cinta kepada wanita-wanitanya. Perjuangan Minke dalam membela pribumi tercermin dalam Rumah Kaca. Dan hingga buku ini dicetak dan menjadi sumber bacaan yang mencerahkan bagi masyarakat pribumi.
Dan juga kepada bangsa Hindia yang menolak perjuangannya, bangsa Eropa yang menutup mata terhadap pribumi dan perjuangan Minke hingga ia diasingkan, tak ada yang menolongnya. Meski demikian, dari itu semua, terkandung hikmah yang mendalam. Benar kiranya apa yang diucapkan Pramoedya Ananta Toer kali ini,” Deposuit Potentes de Sede et Exaltavat Humiles—Dia Rendahkan Mereka yang Berkuasa, dan Naikkan yang Terhina–.
Buku ini, sekali lagi cocok untuk dibaca bagi mereka yang mencari jati diri menurut kebenaran. Sastra, politik dan hukum ada di dalam buku ini. Tidak memandang mereka politikus, presiden maupun mahasiswa dan rakyat. Siapa pun yang bisa membaca, hendaklah membaca karya ini. Karena karya yang menghibur itu banyak—seperti kacang–. Namun karya yang mencerahkan rasa nasionalisme bisa dihitung dengan jari. Sekarang terserah pembaca, mau pilih membaca yang mana.
(ipung_sa/Kitareview.com)