“Pencitraan Srintil sebagai pemain ronggeng begitu nyata dan hidup dalam buku ini.”
DATA BUKU
- Judul Buku: Ronggeng Dukuh Paruk (Trilogi)
- Jenis Buku: Novel
- Genre: Fiksi
- Penulis: Ahmad Tohari
- Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
- Cetakan V: November 2009
- Bahasa: Indonesia
- Tebal Buku: 406 Halaman
- Dimensi Buku (Px L): 15 x 21 cm
- Website Resmi Penerbit: http://www.gramedia.com
- No ISBN : 978-979-22-0196-3
- Harga Buku:
- Gramedia: Rp.50.000
- (Harga Update Agustus 2011)
KARAKTER UTAMA
- Srintil
- Rasus
- Kakek Kartareja
- Nenek Kartareja
- Bajus
SINOPSIS
Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru, menggantikan ronggeng terakhir yang mati dua belas tahun yang lalu. Bagi pendukuhan yang kecil, miskin, terpencil dan bersahaja itu, ronggeng adalah perlambang. Tanpanya, dukuh itu merasa kehilangan jati diri.
Dengan segera Srintil menajdi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi. Cantik dan menggoda. Semua ingin pernah bersama ronggeng itu. dari kawula biasa hingga pejabat –pejabat desa maupun kabupaten.
Namun malapetaka politik tahun 1965 membuat dukuh tersebut hancur, baik secara fisik maupun mental, karena kebodohannya, mereka terbawa arus dan divonis sebagai manusia manusia yang telah mengguncangkan Negara ini. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannyalah Srintil tidak diperlakukan semena-mena oleh penguasa di penjara itu.
Namun pengalaman pahit (trauma) sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan harkatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas, ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia tak ingin lagi melayani lelaki mana pun. Ia ingin menjadi wanita somahan—rumahan. Dan ketika Bajus muncul dalam hidupnya, sepercik harapan timbul, harapan yang makin lama makin membuncah. Tapi, ternyata Srintil kembali terhempas, kali ini bahkan membuat jiwanya hancur berantakan, tanpa harkat kemanusiaan secuil pun.
Novel ini merupakan pernyatuan trilogi “Ronggeng Dukuh Paruk”, “Lintang Kemukus Dinihari”, dan “Jentera Bianglala”, dengan memasukkan kembali bagian–bagian yang tersensor selama 22 tahun.
REVIEW
“Sang Ronggeng Pencari Tuhan”
Buku ini—Ronggeng Dukuh Paruk (Trilogi) karya Ahmad Tohari, layak mendapat masterpiece karena keberadaannya tidak hanya menjadi hiburan sastra semata namun juga sudah merambah untuk bahan studi kasus, yang sudah banyak ditemukan untuk penelitian skripsi, tesis dari mahasiswa dalam negeri hingga luar negeri (baca: Jerman dan Belanda).
Sebelum digabung menjadi satu, buku ini tadinya terpecah menjadi tiga judul, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dinihari, dan terakhir Jantera Bianglala. Namun karena saran penerbit dan penulis akhirnya buku ini digabung menjadi satu, agar memudahkan pembaca yang masih mencari koleksi Ahmad Tohari.
Begitu penasaran, kenapa para peneliti terus saja mengambil sample penelitian dari novel Ronggeng Dukuh Paruk. Karena meskipun novel ini sering dijadikan objek penelitian, namun seolah tak ada habisnya masalah-masalah novel ini yang penting untuk diteliti, bisa dari kajian struktural, feminis dan lain-lainnya.
Ternyata jika tak salah sangka, Anda akan melihat sosok Srintil ini, yakni latar belakang Srintil ini dari hari ke hari kian menarik diperbincangkan. Srintil mewakili nasib wanita di zamannya, ketika kehidupan Srintil sudah dimulai dari pra hingga pasca peristiwa G30SPKI—begitu Ahmad Tohari menggambarkan settingnya.
Srintil hidup dalam keterbelakangan Kampung Dukuh Paruk. Meski parasnya cantik, namun buta akasara. Begitu kepercayaan mistis masih melekat di pikiran orang-orang termasuk tetua kampung Dukuh Paruk. Sebut saja Kakek dan Nenek Kartareja ini yang tega menjadikan Srintil sebagai Ronggeng, yang stigma negatif orang awam dari zaman dulu hingga sekarang, memandang seorang ronggeng adalah wanita yang “tidak benar”. Namun hal itu lain di kampung Dukuh Paruk yang malah bangga memiliki ronggeng secantik Srintil. Padamulanya Srintil amat bangga dengan statusnya sebagai “Nyai Ronggeng”. Namun setelah peristiwa PKI dan Srintil dituduh gerwani dan dimasukkan ke dalam penjara, sehari-hari harus memasang tubuhnya untuk melayani seks para tahanan laki-laki dan sipir tahanan.
Hal itulah, sekeluarnya Srintil dari penjara, ternyata memiliki dampak perubahan 180 derajat bagi kejiwaan Srintil. Ia trauma atas apa yang terjadi padanya sehingga membuatnya insyaf, merenungi apa yang telah terjadi. Hal itu terekam dalam adegan di novel ini, bahwa Srintil menyatakan sepihak untuk pensiun sebagai ronggeng, Srintil juga sudah enggan mandi di luar, takut ada yang mengintip, dan sehari-hari memakai kain kebaya. Hal itulah yang membuatnya ingin di wongke (baca; dimanusiakan lagi). Timbullah niat Srintil menjadi wanita somahan, yaitu seorang ibu rumah tangga.
Niatnya yang menginginkan Rasus dikurungnya dalam-dalam karena perasaan mindernya terhadap Rasus, Srintil yang berubah menjadi pemalu, menjadi takut kalau cintanya ditolak Rasus. Namun sayang, karena keminderannya malah menjauhkannya dari Rasus. Tiba-tiba datanglah angin segar, kedatangan Bajus seorang kontraktor dari Jakarta yang ingin membangun Kampung Dukuh Paruk, memberi warna tersendiri di kehidupan Srintil. Ia mengharapkan satu-satunya lelaki yaitu Bajus mau menerima dirinya apa adanya. Namun semua seperti mainan yang sudah rapi langsung tersenggol dan berantakan semua. Jalinan kasih itu kandas, setelah niat busuk Bajus ingin menjual Srintil kepada Pak Blengur ketahuan, dan tak disangka pertengkarannya dengan Srintil berakibat fatal. Singkat kata, Srintil menjadi terguncang jiwanya, ia tak percaya, bahwa Bajus tega menjual dirinya, hanya demi uang, karena bentakan dan cacian Bajus, Srintil yang trauma akan seks dan PKI masa lalu, berubah total.dan jiwanya terguncang.
Di situ konflik novel ini mencapai klimaksnya, bagaimana tragisnya kehidupan yang amburadul yang dilalui Srintil yang dicobanya untuk berubah dari seorang ronggeng menjadi wanita “baik-baik”, ia mendapat pelajaran itu sendiri yaitu dari pengalaman hidupnya, ternyata harus kandas oleh tangan-tangan busuk munafik si Bajus dan Pak Blengur.
Dari kisah itu ada beberapa poin penting, yaitu keterbelakangan kampung Dukuh Paruk membuat Srintil yang tidak mengenyam pendidikan tidak bisa membedakan mana yang benar mana yang salah, seks yang liar dianggapnya menjadi ritus pemujaan kepada leluhurnya Ki Secamenggala atas bujukan Kartareja. Pendidikan dari kecil, Srintil sudah diharusnya berperilaku seperti layaknya “ronggeng” wajarlah ia menjadi seorang ronggeng. Namun karena situasi politik waktu itu, membuat Srintil tersadar karena pengalamannya sendiri, ia mencari kebenaran sendirian, ia mencoba merangkak dari gelap ke terang sendirian. Setelah ia menemukan kebenaran, malah penduduknya menganggapnya bodoh, salah kaprah, apalagi pendatang yang munafik telah berperilaku busuk kepadanya. Hal itulah yang ingin disampaikan Ahmad Tohari. Keterbelakangan, ekonomi yang lumpuh dan kebodohan adalah penyakit masyarakat yang akan menhancurkan tata nilai norma kehidupan dalam sebuah masyarakat. Contoh kasus adalah profesi Srintil dan resikonya.
Dari penataan bahasa, kata-kata yang digunakan Ahmad Tohari cukup konvensional, pilihan diksinya lezat untuk dipahami, mengalir ceritanya seperti sungai mengalir, apalagi penggambaran karakter Srintil dan tokoh-tokoh lainnya begitu hidup, seperti ada dalam kehidupan nyata yang mampu berinteraksi dengan pembaca.
Pencitraan Srintil sebagai pemain ronggeng begitu nyata dan hidup dalam buku ini. Hal yang menarik adalah kesan yang mendalam terhadap posisi dan nasib Srintil yang semua pembaca Kita kira setuju, bahwa Srintil adalah orang yang berjuang untuk belajar menjadi baik. Dan ia berhasil. Meskipun dalam berubah ia menemukan banyak rintangan, khususnya lingkungan di mana ia tinggal. Ahmad Tohari menggambarkannya dengan detail, wataknya, alurnya, konflik yang tumbuh mengembang serta solusi-solusi yang Kita kira menarik karena membuat penasaran pembaca. Selamat menikmati.
(ipung_sa/Kitareview.com)