“Film yang layak mendapat apresiasi lebih, dalam kondisi global saat ini.”
DATA FILM
- Judul Film: Green Zone
- Genre: Action – Perang – Thriller
- Sutradara: Paul Greengrass
- Produser: Tim Bevan – Eric Fellner – Lloyd Levin – Paul Greengrass
- Penulis Skenario: Brian Helgeland – Rajiv Chandrasekaran (Novel)
- Studio Produksi: Universal Pictures (presents) – Studio Canal – Relativity Media – Working Title Films – Antena 3 Films – Dentsu
- Distributor: Universal Pictures
- Negara: Amerika
- Bahasa: Inggris
- Durasi: 115 menit
- Tanggal Rilis: 12 Maret 2010 (Indonesia)
PEMERAN UTAMA
- Matt Damon sebagai Roy Miller
- Amy Ryan Sebagai Lawrie Dayne
- Brendan Gleeson sebagai Martin Brown
- Greg Kinnear sebagai Clark Poundstone
- Yigal Naor sebagai Jenderal Mohammed Al-Rawi
- Tyrone Jason Isaacs sebagai Mayor Briggs
- Martin McDougall Sebagai Sheen
- Khalid Abdalla sebagai Freddy
SINOPSIS
Miller merupakan seorang Perwira pasukan Amerika yang bertugas di Irak dengan tugas mencari, menemukan, dan memusnahkan senjata pemusnah masal yang disinyalir terdapat di Irak. Dia dan pasukannya bergerak dari satu titik ke titik yang lain berdasarkan informasi intel yang didapatnya.Namun, hasilnya nol besar. Tidak satu pun jejak senjata pemusnah masal yang dia temukan. Kondisi ini terus berulang hingga pada satu titik dia mempertanyakan kualitas intel yang memasok informasi padanya. Kecurigaannya pun meluas. Hingga akhirnya dia juga ragu akan alasan sebenarnya keberadaan mereka di sana.
TRAILER
REVIEW
Bagi para penggemar film aksi, mendengar nama Matt Damon maka Anda akan segera mengingat aksinya yang tanpa ampun dan dingin di trilogi Bourne. Bourne memang kadung sulit dilupakan, lantaran aksi ala agen rahasia dan konfllik politik yang menyelubungi cerita film tersebut menemukan takarannya yang pas dalam pikiran penonton. Bourne juga merupakan sebuah karya jenius dari Paul Greengrass, meskipun dia hanya merancang dua dari tiga film Bourne, yaitu Bourne Supremacy dan The Bourne Ultimatum, namun sentuhannya di dua film tersebutlah yang memoles dan menegaskan identitas Bourne sebagai lambang dari film aksi berkelas.
Lalu bagaimana jika mereka bertemu dan bekerja sama dalam film lain dengan ide cerita yang lain? Bisakah hal tersebut terulang lagi? Green Zone akan menjadi arena bagi mereka berdua untuk menjawab semua itu. Terlebih lagi film ini berlatar perang Irak yang selain masih segar dalam ingatan juga menimbulkan banyak pertanyaan. Pertanyaan tentang alasan perang tersebut yang kontroversial menjadi label keseluruhan akan legitimasi perang tersebut. Banyak karya jurnalistik yang telah dibuat untuk membawa pencerahan terhadap masalah tersebut. Namun penyangkalan dan pembenaran sepihak masih terus terdengar dan berbanding lurus pula dengan berbagai pencerahan yang coba dilakukan. Hasilnya, sampai saat ini alasan itu masih tertutup selimut abu-abu. Tidak hitam, tidak putih.
Jika demikian, usaha Paul dalam mengolah kejadian faktual ini menjadi sebuah sajian fiksi niscaya akan menemukan banyak kendala. Karena kandungan politik yang kental dari cerita film ini, mau tidak mau sandaran politik sang sutradara dan semua pemain yang mendukung film ini menjadi sorotan. Pada kelanjutannya para penikmat film inipun cenderung lebih tertarik untuk mengulas kandungan politiknya daripada cerita dari film itu sendiri. Setiap usaha untuk membahas film ini selalu jatuh pada pembahasan tentang sikap politik tiap individu. Tidak ada yang bisa menerima tanggapan seseorang tanpa turut memperhatikan pandangan politiknya. Hal inilah yang membuat cerita film ini tidak terlihat sepenuhnya dan kualitas pemeran juga kaitan emosi dari tiap pemain tidak terjelaskan. Jika pun ada yang coba menjelaskan, hal itu akan dianggap sepi dan tidak substansial.
Jika Anda bandingkan dengan Bourne, Matt Damon yang memerankan Roy Miller tidak meninggalkan identitasnya sebagai Bourne. Anda akan bisa melihat itu dari cara dia berkomunikasi. Percakapan ala Bourne, cara Miller menyikapi kondisi lingkungan sekitarnya, juga bagaimana dia mencari jalan keluar dari tiap konflik di hadapannya masih membawa kesan Bourne. Intinya, di film ini Anda akan tidak kehilangan karakter Bourne itu. Paul Greengrass mungkin sengaja melakukan ini mengingat Bourne dan Matt Damon saat ini sebagai karakter tidak terpisahkan dan bersifat saling melengkapi. Jika Anda melihat Matt Damon, Anda akan melihat Bourne dan sebaliknya.
Lepas dari itu, film ini tidak memperlihatkan kuantitas aksi yang sama padatnya dengan trilogi Bourne. Sangat disayangkan. Titik ini menjadi kelemahan yang fatal. Dengan pola marketing yang mengedepankan sisi aksi, belum lagi Matt Damon yang diplot sebagai tokoh utama, film ini jelas mengundang ekspektasi besar dari penonton yang mengira mereka akan melihat aksi “Bourne di Baghdad”. Sayangnya film ini tidak bisa memenuhi ekspektasi itu. Pada akhirnya posisi film ini menjadi dipertanyakan. Apakah ini benar film aksi, thriller, atau justru drama konspirasi?
Meski aksi yang ditampilkan tidak sebanyak Bourne, tetapi tetap bisa dinikmati karena Paul masih menggarap aksi-aksi tersebut dengan gaya yang sama. Tiap aksi masih dikemas dengan perpindahan kamera yang cepat, maju-mundur, juga perpindahan tangan dan gerakan tarung yang “seakan” sulit ditangkap mata tetap menjadi ciri Paul yang diejawantahkan di film ini.
Ide cerita yang ditawarkan juga melawan arus besar film perang ala Hollywood. Selama ini, film perang ala Hollywood selalu menempatkan Amerika pada posisi pahlawan, bahkan dalam perang yang “salah” sekalipun. Seperti Rambo misalnya. Arus heroisme semu ini coba dimentahkan dalam film ketika Green Zone dengan sengaja menempatkan konspirasi politik Amerika dan laporan intelijen palsu sebagai alasan perang Irak. Dengan begitu, Amerika adalah penjahatnya. Dalam film-film Amerika, memang sering diperlihatkan bahwa CIA busuk, FBI busuk, polisi dan para petugas penegak keadilan juga korup. Namun, film apa yang berani menuding langsung pusat kekuasan, Washington, sebagai lembaga yang korup? Ini merupakan hal yang jarang.
Meski begitu, Paul tetap menempatkan seorang Miller sebagai lakon yang lurus. Dialah yang berusaha membuka tabir kepalsuan di hadapannya. Di satu sisi, hal ini bisa dilihat sebagai bagian dari plot heroisme ala Hollywood. Namun, secara luas Miller bisa dimaknai sebagai lambang pencari kebenaran yang harus ada dalam setiap kebusukan yang merebak. Lakon yang klise dan mudah ditebak memang. Tapi, yang harus ada memang harus tetap ada.
Dengan pola alur tersebut, sudah menggambarkan bagaimana film ini akan mengalir dan bermuara. Hanya penceritaan dan bumbu aksi ala Paul Greengrass yang bisa membuat penonton tetap merasa sayang untuk meninggalkan film ini dipertengahan. Ini juga yang menjadi ujung tombak marketing film ini. meskipun begitu, hasil yang didapatkan tidak memuaskan. Bahkan Universal Studio menganggap film ini sebagai film yang gagal lantaran pemasukan yang didapatkan tidak berhasil menutupi biaya produksinya. Kekaburan posisi film ini serpetinya jelas memberi pengaruh besar.
Dengan minimnya aksi baku tembak, kejar-kejaran kecepatan tinggi, dan pertarungan satu-lawan satu yang menjadi “tanda dagang” dari Bourne, pertanyaan pertama sudah terjawab; film ini tidak mengulangi keasikan seperti yang disajikan dalam trilogi Bourne. Namun, film ini akan diingat sebagai salah satu usaha berpendapat dari insan film terhadap kejadian yang mengubah hidup banyak orang. Film yang menangkap suara lain dari kebanyakan film keluaran Amerika. Film yang layak mendapat apresiasi lebih, dalam kondisi global saat ini.
(AriefJuga/Kitareview.com)
Lalu bagaimana jika mereka bertemu dan bekerja sama dalam film lain dengan ide cerita yang lain? Bisakah hal tersebut terulang lagi? Green Zone akan menjadi arena bagi mereka berdua untuk menjawab semua itu. Terlebih lagi film ini berlatar perang Irak yang selain masih segar dalam ingatan juga menimbulkan banyak pertanyaan. Pertanyaan tentang alasan perang tersebut yang kontroversial menjadi label keseluruhan akan legitimasi perang tersebut. Banyak karya jurnalistik yang telah dibuat untuk membawa pencerahan terhadap masalah tersebut. Namun penyangkalan dan pembenaran sepihak masih terus terdengar dan berbanding lurus pula dengan berbagai pencerahan yang coba dilakukan. Hasilnya, sampai saat ini alasan itu masih tertutup selimut abu-abu. Tidak hitam, tidak putih.
Jika demikian, usaha Paul dalam mengolah kejadian faktual ini menjadi sebuah sajian fiksi niscaya akan menemukan banyak kendala. Karena kandungan politik yang kental dari cerita film ini, mau tidak mau sandaran politik sang sutradara dan semua pemain yang mendukung film ini menjadi sorotan. Pada kelanjutannya para penikmat film inipun cenderung lebih tertarik untuk mengulas kandungan politiknya daripada cerita dari film itu sendiri. Setiap usaha untuk membahas film ini selalu jatuh pada pembahasan tentang sikap politik tiap individu. Tidak ada yang bisa menerima tanggapan seseorang tanpa turut memperhatikan pandangan politiknya. Hal inilah yang membuat cerita film ini tidak terlihat sepenuhnya dan kualitas pemeran juga kaitan emosi dari tiap pemain tidak terjelaskan. Jika pun ada yang coba menjelaskan, hal itu akan dianggap sepi dan tidak substansial.
Jika Anda bandingkan dengan Bourne, Matt Damon yang memerankan Roy Miller tidak meninggalkan identitasnya sebagai Bourne. Anda akan bisa melihat itu dari cara dia berkomunikasi. Percakapan ala Bourne, cara Miller menyikapi kondisi lingkungan sekitarnya, juga bagaimana dia mencari jalan keluar dari tiap konflik di hadapannya masih membawa kesan Bourne. Intinya, di film ini Anda akan tidak kehilangan karakter Bourne itu. Paul Greengrass mungkin sengaja melakukan ini mengingat Bourne dan Matt Damon saat ini sebagai karakter tidak terpisahkan dan bersifat saling melengkapi. Jika Anda melihat Matt Damon, Anda akan melihat Bourne dan sebaliknya.
Lepas dari itu, film ini tidak memperlihatkan kuantitas aksi yang sama padatnya dengan trilogi Bourne. Sangat disayangkan. Titik ini menjadi kelemahan yang fatal. Dengan pola marketing yang mengedepankan sisi aksi, belum lagi Matt Damon yang diplot sebagai tokoh utama, film ini jelas mengundang ekspektasi besar dari penonton yang mengira mereka akan melihat aksi “Bourne di Baghdad”. Sayangnya film ini tidak bisa memenuhi ekspektasi itu. Pada akhirnya posisi film ini menjadi dipertanyakan. Apakah ini benar film aksi, thriller, atau justru drama konspirasi?
Meski aksi yang ditampilkan tidak sebanyak Bourne, tetapi tetap bisa dinikmati karena Paul masih menggarap aksi-aksi tersebut dengan gaya yang sama. Tiap aksi masih dikemas dengan perpindahan kamera yang cepat, maju-mundur, juga perpindahan tangan dan gerakan tarung yang “seakan” sulit ditangkap mata tetap menjadi ciri Paul yang diejawantahkan di film ini.
Ide cerita yang ditawarkan juga melawan arus besar film perang ala Hollywood. Selama ini, film perang ala Hollywood selalu menempatkan Amerika pada posisi pahlawan, bahkan dalam perang yang “salah” sekalipun. Seperti Rambo misalnya. Arus heroisme semu ini coba dimentahkan dalam film ketika Green Zone dengan sengaja menempatkan konspirasi politik Amerika dan laporan intelijen palsu sebagai alasan perang Irak. Dengan begitu, Amerika adalah penjahatnya. Dalam film-film Amerika, memang sering diperlihatkan bahwa CIA busuk, FBI busuk, polisi dan para petugas penegak keadilan juga korup. Namun, film apa yang berani menuding langsung pusat kekuasan, Washington, sebagai lembaga yang korup? Ini merupakan hal yang jarang.
Meski begitu, Paul tetap menempatkan seorang Miller sebagai lakon yang lurus. Dialah yang berusaha membuka tabir kepalsuan di hadapannya. Di satu sisi, hal ini bisa dilihat sebagai bagian dari plot heroisme ala Hollywood. Namun, secara luas Miller bisa dimaknai sebagai lambang pencari kebenaran yang harus ada dalam setiap kebusukan yang merebak. Lakon yang klise dan mudah ditebak memang. Tapi, yang harus ada memang harus tetap ada.
Dengan pola alur tersebut, sudah menggambarkan bagaimana film ini akan mengalir dan bermuara. Hanya penceritaan dan bumbu aksi ala Paul Greengrass yang bisa membuat penonton tetap merasa sayang untuk meninggalkan film ini dipertengahan. Ini juga yang menjadi ujung tombak marketing film ini. meskipun begitu, hasil yang didapatkan tidak memuaskan. Bahkan Universal Studio menganggap film ini sebagai film yang gagal lantaran pemasukan yang didapatkan tidak berhasil menutupi biaya produksinya. Kekaburan posisi film ini serpetinya jelas memberi pengaruh besar.
Dengan minimnya aksi baku tembak, kejar-kejaran kecepatan tinggi, dan pertarungan satu-lawan satu yang menjadi “tanda dagang” dari Bourne, pertanyaan pertama sudah terjawab; film ini tidak mengulangi keasikan seperti yang disajikan dalam trilogi Bourne. Namun, film ini akan diingat sebagai salah satu usaha berpendapat dari insan film terhadap kejadian yang mengubah hidup banyak orang. Film yang menangkap suara lain dari kebanyakan film keluaran Amerika. Film yang layak mendapat apresiasi lebih, dalam kondisi global saat ini.
(AriefJuga/Kitareview.com)