“Sebuah film agamis yang berhasil mempertemukan kembali Nicholas Saputra dan Dian Sastro.”
DATA FILM
- Judul: 3 Doa 3 Cinta
- Genre: Drama
- Produser: Nan Achnas – Nurman Hakim – Adiyanto Sumarjono
- Sutradara: Nurman Hakim
- Produksi: Investasi Film Indonesia – TrixImage
- Negara:Indonesia
- Bahasa: Indonesia
- Durasi: 114 Menit
- Tanggal Rilis: 18 Desember 2008
DATA LAINNYA
- Penghargaan yang diperoleh:
- Grand Prize of the International Jury di Festival Internasional Asian Cinema Vesoul, Perancis.
- Nominator FFI 2008
PEMERAN UTAMA
- Nicholas Saputra sebagai Huda
- Dian Sastrowardoyo sebagai Dona Satelit
- Yoga Pratama sebagai Rian
- Yoga Bagus sebagai Syahid
SINOPSIS
Ini cerita tentang tiga sahabat, Huda, Rian dan Syahid, tiga remaja yang tinggal di pesantren di sebuah kota kecil yang terletak di daerah Jawa Tengah. Mereka punya rencana dalam hidup mereka masing-masing setelah lulus dari pesantren dan SMA sebulan lagi. Mereka memiliki sebuah lokasi rahasia, sebuah dinding tua di belakang pesantren, dimana mereka menulis harapan-harapan mereka di dinding. Hingga sebuah situasi merubah hidup mereka
Huda, ingin mencari ibunya yang kabarnya berada di suatu tempat di Jakarta. Huda bertemu dengan Dona Satelit, seorang penyanyi dangdut pemula yang sangat seksi ketika di panggung dan terobsesi menjadi bintang terkenal di Jakarta. Diantara mereka tertanam benih-benih asmara.
Rian, santri dari suatu kota besar. Dia mendapatkan sebuah kado handycam dari ibunya pada saat ulang tahunnya. Rombongan pasar malam terutama layar tancap yang kebetulan sedang singgah di desa itu membuat Rian semakin obsesif terhadap kamera. Rian ingin melanjutkan usaha Ayahnya.
Syahid, berasal dari keluarga miskin. Ayahnya sakit keras. Syahid merencanakan sesuatu yang besar dalam hidupnya yang akan memberikan dampak bagi kedua temannya.
Bagaimana kehidupan mereka bertiga dan terwujudkah segala impian dan harapan mereka yang pernah mereka tulis di tempat rahasia itu?
Huda, ingin mencari ibunya yang kabarnya berada di suatu tempat di Jakarta. Huda bertemu dengan Dona Satelit, seorang penyanyi dangdut pemula yang sangat seksi ketika di panggung dan terobsesi menjadi bintang terkenal di Jakarta. Diantara mereka tertanam benih-benih asmara.
Rian, santri dari suatu kota besar. Dia mendapatkan sebuah kado handycam dari ibunya pada saat ulang tahunnya. Rombongan pasar malam terutama layar tancap yang kebetulan sedang singgah di desa itu membuat Rian semakin obsesif terhadap kamera. Rian ingin melanjutkan usaha Ayahnya.
Syahid, berasal dari keluarga miskin. Ayahnya sakit keras. Syahid merencanakan sesuatu yang besar dalam hidupnya yang akan memberikan dampak bagi kedua temannya.
Bagaimana kehidupan mereka bertiga dan terwujudkah segala impian dan harapan mereka yang pernah mereka tulis di tempat rahasia itu?
TRAILER
REVIEW
Sebuah film agamis yang berhasil mempertemukan kembali Nicholas Saputra dan Dian Sastro. Anda jangan berpikir bahwa di film ini Nicholas berakting dengan gayanya yang cool selayaknya Rangga dalam film AADC dan Soe Hook Gie dalam film Gie, dan jangan pula berpikir Dian Sastro akan bermain menjadi karakter yang gaul dan memesona seperti di fim-fim sebelumnya.
Mata Anda akan terbelalak menyaksikan Dian Sastro berjoget dangdut dengan pinggul dan pantat yang bergerak lincah ke kiri dan ke kanan, dibalut kostum ketat dan seksi. Dian Sasto di film ini berperan sebagai artis dangdut kampung (Dona Satelit) yang berpenampilan norak dan diselaraskan dengan dialek jawa yang kental dan medok. Begitupun dengan Nicholas yang bereran sebagai santri di sebuah pesantren yang sangan jauh dari kota besar dan mempunyai peraturan-perautran yang bisa dibilang kaku dan kolot.
Film yang berlatar tahun 2001 ini, memang lebih khusus menggambarkan sebuah kehidupan pesantren beserta kehidupan santri-santrinya yang menghadapi problema dan masalah hidup mereka masing-masing.
Anda akan melihat bagaimana kegiatan asusila bisa saja terjadi di sebuah pesantren, bagaimana para santri dalam menyikapi upaya pendokrinan tentang pemahaman mati syahid, dan bagaimana sikap santri dalam menyikapi dan merasakan yang namanya cinta. Walau memang bukan menggambarkan realitas secara umum sebuah pesantren.
Film ini mencoba memberi penjelasan dengan bahasa yang sederhana dalam menghadapi situasi-situasi kompleks tentang sebuah ajaran dan kehidupan sehari-hari dalam konteks islam. Tak hanya mencontohkan penerapan islam yang benar, namun juga mencontohkan penerapan islam yang salah kaprah. Tampaknya film ini lahir bukan untuk sebuah obsesi besar, tapi hanya ingin memperlihatkan penerapan Islam di Indonesia dengan cara yang sederhana, melalui sebuah persahabatan dan cinta yang sederhana.
Jalan ceritanya yang terlalu panjang mungkin akan membuat mata mengantuk. Nampaknya sutradara benar-benar ingin menggambarkan semuanya secara jelas, hingga tak ada yang terlewat. Walau begitu, ide cerita film ini sungguh menarik dan cukup berani. Tak heran jika film ini masuk ke banyak festival dunia hingga sempat mendapat Grand Prize of the International Jury di Festival Internasional Asian Cinema Vesoul, Perancis dan menjadi nominator FFI 2008. Jika Anda penggemar film Indonesia, apalagi mengidolakan Nicholas dan Dian Sastro, film ini bukan film yang Anda boleh lewatkan begitu saja, alias wajib tonton! =)
(Poetra/Kitareview.com)
Mata Anda akan terbelalak menyaksikan Dian Sastro berjoget dangdut dengan pinggul dan pantat yang bergerak lincah ke kiri dan ke kanan, dibalut kostum ketat dan seksi. Dian Sasto di film ini berperan sebagai artis dangdut kampung (Dona Satelit) yang berpenampilan norak dan diselaraskan dengan dialek jawa yang kental dan medok. Begitupun dengan Nicholas yang bereran sebagai santri di sebuah pesantren yang sangan jauh dari kota besar dan mempunyai peraturan-perautran yang bisa dibilang kaku dan kolot.
Film yang berlatar tahun 2001 ini, memang lebih khusus menggambarkan sebuah kehidupan pesantren beserta kehidupan santri-santrinya yang menghadapi problema dan masalah hidup mereka masing-masing.
Anda akan melihat bagaimana kegiatan asusila bisa saja terjadi di sebuah pesantren, bagaimana para santri dalam menyikapi upaya pendokrinan tentang pemahaman mati syahid, dan bagaimana sikap santri dalam menyikapi dan merasakan yang namanya cinta. Walau memang bukan menggambarkan realitas secara umum sebuah pesantren.
Film ini mencoba memberi penjelasan dengan bahasa yang sederhana dalam menghadapi situasi-situasi kompleks tentang sebuah ajaran dan kehidupan sehari-hari dalam konteks islam. Tak hanya mencontohkan penerapan islam yang benar, namun juga mencontohkan penerapan islam yang salah kaprah. Tampaknya film ini lahir bukan untuk sebuah obsesi besar, tapi hanya ingin memperlihatkan penerapan Islam di Indonesia dengan cara yang sederhana, melalui sebuah persahabatan dan cinta yang sederhana.
Jalan ceritanya yang terlalu panjang mungkin akan membuat mata mengantuk. Nampaknya sutradara benar-benar ingin menggambarkan semuanya secara jelas, hingga tak ada yang terlewat. Walau begitu, ide cerita film ini sungguh menarik dan cukup berani. Tak heran jika film ini masuk ke banyak festival dunia hingga sempat mendapat Grand Prize of the International Jury di Festival Internasional Asian Cinema Vesoul, Perancis dan menjadi nominator FFI 2008. Jika Anda penggemar film Indonesia, apalagi mengidolakan Nicholas dan Dian Sastro, film ini bukan film yang Anda boleh lewatkan begitu saja, alias wajib tonton! =)
(Poetra/Kitareview.com)